Minggu, 04 Desember 2016

Makna dan Tradisi Ndodok Lawang Desa Ngurenrejo, Kecamatan Wedarijaksa, Kabupaten Pati Jawa Tengah



Makna dan  Tradisi Ndodok Lawang
Desa Ngurenrejo, Kecamatan Wedarijaksa,
 Kabupaten Pati Jawa Tengah
JOURNAL

Disusun Guna Memenuhi Tugas UAS
Mata Kuliah : Sosiologi Agama
Dosen Pengampu :  Efa Ida Amalia M.Ag



 









Disusun Oleh :
Nama      : Eny Setyaningrum
NIM       : 1530210006

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS (STAIN) KUDUSUSHULUDDIN PROGAM ILMU AQIDAH
TAHUN AJARAN 2015/2016

Abstrak

Penelitian ini bertujuan mengetahui dan mengerti bahwa Pati mempunyai keanekaragaman tradisi atau ritual yang hingga sekarang ada dan tetap dipertahankan oleh masyarakat khususnya warga masyarakat Desa Ngurenrejo, Wedarijaksa, Pati, yaitu hampir setiap desa masih melakukan tradisi-tradisi nenek moyang, termasuk di desa Ngurenrejo kecamatan Wedarijksa, Kabupaten Pati. Desa ini terletak di sebelah barat pusat kota Pati, memiliki luas 174 Ha, dengan jumlah penduduk 3350 jiwa, terdiri dari 23 RT, dan 3 RW. Roda pemerintahan Desa dijalankan oleh Kepala Desa yakni Bapak, Sudiono, dan di wakili oleh Bapak Sutrisno, bersama BPD yang di ketuai oleh Bukhari dan saat ini merupakan muslim secara keseluruhan. Hampir 90% masyarakatnya sekarang mayoritas mengikuti paham Ahlussunah Waljama’ah.
Salah satu tradisi yang ada di desa Ngurenrejo yaitu Ndodok lawang dalam bahasa Indonesia sama artinya dengan ‘mengetuk pintu’. Tradisi ndodok lawang merupakan salah satu rangkaian upacara pernikahan yang dilakukan pra (menjelang) pernikahan. Menempati urutan pertama pada prosesi pernikahan, sebelum dilakukan lamaran dan akad nikah. Tradisi ini dilakukan oleh pihak dari laki-laki yang akan mendatangi rumah perempuan. Tradisi ini merupakan wujud keseriusan yang ditunjukkan dari pihak laki-laki yang ingin memperistri pihak perempuan. Pihak perempuan juga akan merasa tenang ketika pihak laki-laki sudah melakukan tradisi ini.
Tradisi Ndodok lawang merupakan tahapan yang di dalamnya mempertanyakan tentang kejelasan status kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan). Selain itu juga mengetahui ketersediaan perempuan apakah menerima niat serius dari laki-laki tersebut atau menolak.
Hal inti dalam prosesi ini adalah menanyakan kelahiran si perempuan. Bukan hari dan tanggal lahir secara penanggalan nasional, tapi menurut penanggalan Jawa. Penanggalan ini biasa disebut dengan weton. Sesepuh akan menghitung weton kedua belah pihak. Apakah hasilnya nanti cocok atau bahkan menyebabkan keburukan jika niat ini dilanjutkan sampai akad nikah.




PENDAHULUAN

              Jawa adalah daerah yang kaya akan kebudayaan. Kebudayaan tersebut merupakan aset yang harus dijaga dan dilestarikan. Dikalangan masyarakat Jawa, tentu telinga mereka sudah tidak asing lagi dengan upacara pernikahan. Meskipun sam-sama di Jawa, tentu di setiap daerah memiliki tata cara pelaksanaan yang berbeda-beda.
Masyarakat sering mengadakan upacara pernikahan yang begitu banyak tahapan dan dianggap rumit. Mulai dari waktu, tempat, perlengkapan, semua memiliki syarat tersendiri. Tahapan prosesinya juga panjang. Ada berbagai macam tahapan yang ada dalam upacara pernikahan masyarakat Jawa. Tiap-tiap tahapan dari upacara yang dilaksanakan sebenarnya memiliki makna dan nilai budaya yang khusus. Akan tetapi masyarakat sendiri kurang mengetahui maksud, tujuan serta makna mengadakan upacara tersebut. Masyarakat juga belum mengetahui perbedaan tradisi sebelum dan sesudah datangnya Islam. Kebanyakan dari mereka hanya mengikuti tradisi secara turun temurun, tanpa mengkaji maksud dan tujuannya lebih lanjut.
Untuk itu, peneliti menyusun laporan penelitian yang akan menjelaskan bagaimana tahapan awal dari prosesi pernikahan, yaitu ndodok lawang sebagai tradisi turun menurun hingga tersentuh oleh Islam.













PEMBAHASAN

1. Prosesi Tradisi Ndodok Lawang dan Pemaknaannya
a.       Rombongan pihak laki-laki memasuki rumah pihak perempuan dengan  urutan:
1)  Sesepuh yang mewakili orang tua dari pihak laki-laki
2)  Laki-laki yang hendak meminang, dan
3)  Orang tua dari pihak laki-laki.
4) Calon pengantin laki-laki ditempatkan di tengah, dimaknai sebagai      perlindungan dari    keluarganya.
b.                  Sebelum mendatangi rumah pihak perempuan, pihak laki-laki harus terlebih dahulu mendatangi punden untuk memberikan sesaji dengan harapan dapat memperlancar niatannya. Hal ini dimaknai sebagai syarat meminta izin kepada yang membabat desa (leluhur desa)
c.          Pihak perempuan menerima rombongan pihak laki-laki dengan urutan:
1) Sesepuh yang mewakili oarang tua  dari pihak perempuan
2) Perempuan yang akan dipinang, dan
3) Orang tua dari pihak perempuan. Ini dimaknai juga sebagai perlindungan kepada calon pengantin perempuan.
d.         Orang tua pihak laki-laki melakukan tepangan (berkenalan) dengan orang tua pihak perempuan. Hal ini dimaknai sebagai rasa hormat antar kedua belah pihak.
e.                    Orang tua pihak laki-laki melakukan tembung, mengutarakan maksud kedatangannya. Menyampaikan maksud hati anaknya untuk ngembun-embun enjing ajejawah sonten (mengharap embun turun di pagi hari, dan hujan turun di sore hari), atau mengharap sesuatu yang menyenangkan, yaitu  ingin menikahi anak perempuannya. Ukarangembun-embun enjing ajejawah sonten”  juga merupakan wangsalan. Dalam Bahasa Jawa nama embun pagi adalah awun-awun, hujan gerimis sore hari disebut rerabi; maksudnya nyuwun rabi atau minta menikah.
f.                                           Menanyakan hari pasaran kelahiran perempuan. Kemudian mencocokkannya dengan hari pasaran kelahiran laki-laki. Hal ini biasa disebut weton. Yang bertugas menghitung weton kedua belah pihak adalah sesepuh yang dianggap memiliki kecakapan menghitung hari kelahiran dan mampu mengartikan hasil dari perhitungannya. Hal ini dimaknai untuk meminimalisir datangnya bencana terhadap rumah tangga calon pengantin dikemudian hari.
g.                                          Setelah weton diketahui, selanjutnya adalah penentuan tanggal, bulan, dan tahun pernikahan. Menurut adat yang dianut masyarakat desa Ngurenrejo ini, menentukan tanggal pernikahan ini sedikit rumit. Meskipun semua tanggal, bulan, dan tahun baik, tapi ada beberapa persyaratan yang harus ditaati. Kedua calon penganten harus tahu hari pasaran mereka berdua, berikutnya adalah “hari naas” atau hari kematian bapak atau ibu (jika ada) yang sudah meninggal. Biasanya orang tua sudah mencatat baik-baik kapan anaknya lahir, termasuk jam. Lebih mudah kalau punya kitab primbon untuk menghitung sendiri kapan tanggal baik untuk menikah. Sedangkan untuk bulan dan tahun, bisa sekehendak calon pengantin atau keluarga karena ini tidak membutuhkan hitungan khusus.
h.                                        Selama para orang tua berunding, laki-laki tidak boleh berada di dalam rumah. Ini    disebut dengan jonggolan. Jonggolan berasal dari tembung jonggol, yang berarti duduk diam. Di sini,  jonggolan berarti calon pengantin laki-laki ketika sowan, datang ke rumah orang tua calon pengantin perempuan, tidak melakukan apa-apa, duduk di teras depan rumah, dan hanya minum air putih. Hal ini dimaknai sebagai keberanian, kemantapan, dan kesiapannya untuk menikahi calon pengantin perempuan.
i.                                            Perempuan juga tidak boleh berada dalam ruang berunding para orang tua. Di diharuskan memasak untuk disajikan kepada calon mertua. Tidak boleh ada yang membantu dan tidak boleh dimasak sebelum rombongan pihak perempuan memasuki rumah. Jadi, hasil masakannya benar-benar dari tangannya sendiri. Hal ini dimaknai bahwa perempuan itu wajib bisa memasak dan pandai mengerjakan pekerjaan rumah.
j.                                            Setelah pihak laki-laki berpamitan, maka pihak perempuan mengadakan wilujengan pada tengah malam. Tujuannya untuk melindungi calon pengantin perempuan agar tidak diganggu roh-roh jahat. Selain itu dimaksudkan agar pihak laki-laki tidak membatalkan rencana pernikahan.[1]

2.      Perlengkapan Tradisi Ndodok Lawang
Calon pengantin laki-laki sowan ke rumah calon mertua dengan membawa:
a.       Gedang setangkep, sebagai simbol menjodohkan kedua calon pengantin.
b.      Weh-wehan, berupa segala sesuatu baik itu makanan ataupun barang. Weh-wehan ini tergantung kemampuan ekonomi dari pihak laki-laki. Tidak ada ketentuan khusus.
Calon pengantin laki-laki sowan ke rumah calon mertuanya, bersama bapak, ibu, saudara atau sesepuh yang lain. Sebelum keluarga pengantin laki-laki pulang, keluarga calon pengantin perempuan menyerahkan:
a.       Kancing gelung. Istilah kancing gelung berarti :
1) tusuk konde untuk mengikat atau  mengencangkan ikatan konde,
2) dhuwung (keris) pengantin. Dulu, para laki-laki berambut panjang. Jika pengertian ini dipakai, maka kancing gelung ini melambangkan keterikatan calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan
Pengertian lain kancing gelung adalah dhuwung . Pada acara mantenan, pengantin laki-laki memakai keris untuk pasren (supaya asri, maksudnya supaya cakap). Keris juga merupakan senjata untuk membela keluarga. Selain itu, keris juga merupakan pusaka, dalam pengertian pasangan baru itu akan memakai warisan ilmu adi luhung sebagai pusaka dalam mengarungi samudera kehidupan.
b.     Ageman pengantin kakung, ini biasanya berupa kain yang akan dipakai   saat ijab dan panggih. Kain yang diberikan biasanya hanya beberapa lembar saja sebagai simbol.
c.       Angsul-angsul atau oleh-oleh berupa makanan matang (siap dikonsumsi) untuk dibawa pulang.[2]
3. Hubungan Agama dengan kebudayaan tradisi  ndodok lawang  yang ada di Pati, Desa Ngurenrejo
Agama dan kebudayaan adalah dua hal yang sangat dekat di masyarakat, khususnya masyarakat Desa Ngurenrejo, Kecamatan weadarijaksa, Kabupaten Pati. Agama muncul dari perasaan ketakjuban manusia terhadap realitas alam yang ada. Kemudian mereka percaya bahwa ada suatu kekuatan tertentu, mereka mencoba untuk mencari keselamatan dan ketidakseimbangan yang mereka rasakan, yang dapat mendatangkan keselamatan bagi mereka.
Peranan agama di dalam masyarakat yang berasal usul dari The elemetary Froms of the Religious Life- karya Durkheim dan Lectures on the Relegion of the Semites karya Robertson Smith, pendekatan sosiologis menekankan cara kepercayaan dan khususnya ritus memperkuat ikatan-ikatan sosial tradisional diantara individu-individu. Pendekatan itu menekankan cara struktur sosial sebuah kelompok yang di perkuat dan di lestarikan melalui simbolisasi ritualistis atau mitis dari nilai-nilai sosial yang mendasari struktur sosial itu.
Masyarakat desa Ngurenrejo sampai sekarang masih melestarikan tradisi-tradisi lokal yang menjadi ajaran leluhur pendahulu mereka yaitu Mbah Singo Padu. Sama seperti daerah pesisir lainnya, desa Ngurenrejo ini memiliki tradisi-tradisi lokal seperti sedekah bumi, tingkep, sepasar, selapan, dan lain sebagainya. Namun ada satu tradisi yang hanya dimiliki desa-desa disebelah barat pusat kota Pati (termasuk di Desa Ngurenrejo) memiliki tradisi Ndodok Lawang.[3]






KESIMPULAN
Setelah melakukan penelitian terhadap budaya lokal berupa tradisi ndodok lawang di desa Ngurenrejo, Kecamatan wedarijaksa, Kabupaten Pati, dapat diuraikan kesimpulanya dibawah ini
Tradisi mengandung pengertian tentang adanya kaitan masa lalu dengan masa sekarang. Tradisi menunjuk kepada sesuatu yang diwariskan dari generasi ke generasi, dan wujudnya masih ada sampai sekarang dan berfungsi di dalam kehidupan masyarakat luas. Tradisi tidak hanya sekedar diwariskan tetapi juga dikonstruksikan atau serangkaian tindakan yang ditujukan untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma melalui pengulangan, yang secara otomatis mengacu kepada kesinambungan dengan masa lalu.[4]
Jadi, peneliti melihat bahwa di dalam tradisi terdiri dua hal yang sangat penting, yaitu pewarisan dan konstruksi. Pewarisan menunjuk kepada proses penyebaran tradisi dari masa ke masa, sedangkan konstruksi menunjuk kepada proses pembentukan atau penanaman tradisi kepada orang lain. Setelah dilakukan pengamatan, ndodok lawang di desa ini termasuk dalam kategori tradisi. Tradisi di sini terlihat dari adat kebiasaan turun temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan dalam masyarakat. Masyarakat juga menganggap cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar. Tradisi ndodok lawang merupakan salah satu tahapan dalam prosesi pernikahan yang menempati urutan pertama sebelum melangsungkan akad nikah. Tradisi ini tergolong dalam tradisi lingkaran hidup.
Peneliti melihat tradisi ndodok lawang di desa ini unik, berbeda dengan ndodok lawang di tempat lain. Ciri khas tradisi ndodok lawang di desa ini adalah calon pengantin perempuan diharuskan memasak untuk dipersembahkan kepada keluarga calon pengantin laki-laki. Peralatan memasaknya harus menggunakan peralatan khas desa dan harus ada tungku kayu bakar. Ia harus mengerjakannya sendiri dan tidak boleh diarahkan orang lain. Hal ini menunjukkan calon pengantin perempuan sudah pantas menikah dan siap berumah tangga.
Tradisi ndodok lawang termasuk dalam budaya lokal. Hal ini terlihat dari kepercayaan masyarakat. Mereka meyakini kalau roh nenek moyang setelah meninggal masih berhubungan dengan keluarga yang masih hidup. Maka dari itu, masyarakat masih melakukan ritual-ritual yang menjadi kepercayaan mereka. Seperti pada tradisi di atas, yang mengharuskan calon pengantin laki-laki untuk menyediakan sesaji dan membawanya ke punden dengan harapan niatannya dapat berjalan dengan lancar. Selain itu juga terlihat dari wilujengan yang dilakukan dari pihak perempuan, yang tujuannya menolak roh-roh jahat yang bisa menggagalkan rencana pernikahan. Menurut mereka cara-cara ini adalah yang terbaik dan benar. Hal di atas merupakan tradisi ndodok lawang sebelum tersentuh ajaran Isalm.
Ketika Islam masuk ke desa Ngurenrejo, masyarakat menerima dengan baik. Islam masuk dengan ajaran perilaku yang mengedepankan kesamaan derajat manusia di sisi Tuhan tanpa memandang status. Ajaran tersebut mudah diterima oleh masyarakat karena sikap mereka yang terkenal dengan keterbukaannya dalam menjalin hubungan dan kerja sama. Keterbukaan tersebut juga berlaku pada ciri khas budaya lokal. Sehingga yang terjadi adalah kontak budaya yang menyebabkan adanya proses tarik menarik antara budaya local dengan budaya yang dibawa oleh Islam. Di sini budaya lokal tidak sepenuhnya menolak ajaran budaya Islam, sebaliknya Islam juga tidak memaksa menghilangkan budaya lokal. Peneliti melihat bahwa ketika Islam masuk, masyarakat desa ini menerima dan menjadikan budaya Islam sebagai kerangka referensi tindakan.
Setelah Islam menjadi kerangka referensi tindakan, tradisi ndodok lawang mengalami pembaharuan. Jika pada masa lalu pihak  laki-laki diharuskan membawa sesaji ke punden, maka sekarang beralih mengundang modin atau ustadz untuk mengadakan selamatan dan do’a bersama keluarga. Selain itu, yang dahulu pihak perempuan mengadakan wilujengan di tengah malam untuk mengusir roh-roh jahat. Sekarang mereka melakukan selamatan pada waktu setelah shalat Maghrib, dengan mengundang tetangga sebagai ungkapan syukur dan kabar gembira. Peneliti melihat terdapat kesamaan tujuan, yaitu terletak pada tujuan memohon kelancaran. Tetapi terdapat perbedaan yang terletak pada yang disembah, tidak lagi ditujukan kepada ruh-ruh, tetapi kepada Allah SWT.
Nilai-nilai dan norma-norma pada tradisi ndodok lawang yang dinilai sudah sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam, maka tetap dipertahankan. Dan nilai-nilai yang kurang sesuai dengan ajaran Islam, maka dilakukan pembaharuan tanpa menghilangkan inti dari tradisi tersebut.





























BUKTI  WAWANCARA


 





















DAFTAR PUSTAKA
           
            Nur Syam, Islam Pesisir, Yogyakarta, Lkis, 2005.
Wawancara dengan Bapak Kano (karwati), sebagai penjaga makam leluhur (Mbah Singo Padu), Pada, Senin, 28 September 2016, Pukul 10.06 WIB.
Wawancara dengan Ibu kasih, sebagai sekretaris BPD Desa Ngurenrejo, Pada, Sabtu, 26 September 2016,   Pukul 15.30 WIB
Wawancara dengan Bapak Rupadi, sebagai RT/RW 02/02 di Desa Ngurenrejo, Kecamatan Wedarijaksa, Kabupaten Pati, Pada, Rabu, 30 September 2016, Pukul 18.49 WIB


















FIELD NOTE
Kajian Lapangan Tradisi Ndodok Lawang, Ds. Ngurenrejo, Wedarijaksa, Kab. Pati

Sabtu, 26 September 2016 (observasi hari pertama)
Sore hari itu suasananya hampir turun hujan,  Saya melakukan observasi pada hari, pertama yaitu sabtu, 26 September 2016 setelah selesai salat ashar, pukul 14.30, dengan membawa tas rensel, saya memasukkan barang ke dalam tas saya berupa kamera, hp, alat tulis buku dan lainya. Kali ini saya akan pergi ke rumah Ibu Kasih sebagai sekertaris BPD di Ds. Ngurenrejo. Setelah sampai kerumahnya dan berbincang-bincang sedikit mengenai tujuan saya datang, kemudian saya melanjutkan tujuan awal saya untuk mendapatkan hasil observasi yang akan saya buat data dan saya memulai wawancara kepada narasumber saya yaitu Ibu Kasih. Yang pertama saya menanyakan mengenai definisi dari tradisi Ndodok lawang itu sendiri, selanjutnya saya bertanya mengenai beberapa hal tentang tradisi ndodok lawang, dan setelah itu dari pemaparan yang sudah di jelaskan oleh Ibu Kasih, saya lebih tertarik dengan penjelasan dari Ibu kasih mengenai perlengkapan dari tradisi itu sendiri. Demikian hasil observasi wawancara dari Narasumber Ibu Kasih.

Senin,
28 September 2016
Siang hari yang cukup panas, sekitar jam 11.45 dengan membawa sepeda montor bersama saudara perempuan saya, dan menggendong tas ransel. Tempat yang saya tuju juga tidak jauh dari rumahku sekitar 120 m,  kurang lebihnya. Saya berangkat dari rumah untuk pergi ke “Punden” di Desa Ngurenrejo, Wedarijaksa, Kab.Pati untuk melakukan kajian lapangan tradisi kebudayaan “Ndodok Lawang” Pati Wedarijaksa, Jawa Tengah untuk memenuhi tugas UAS dari Dosen saya yang bernama Ibu Efa Ida Amaliya. Perjalanan yang memakan waktu beberapa menit saja, akhirnya kami sampai di lokasi pukul 12.28.  Selanjutnya saya langsung menuju tempat parkir sepeda montor depan punden tersebut. Sebelum saya masuk ke dalam punden tersebut, saya melaksankan salat dhuhur terlebih dahulu, dan tempatnya di mushala depan “Pundeng Singa Padu”. Sebenarnya jadwal keberangkatan saya pukul 09.00, tetapi saya butuh persiapan dan pembekalan untuk mematangkan kepergian ke Punden, dan sambil menunggu saudaraku sampai ke rumah. Setelah persiapan selesai, kamipun berangkat pukul 11.45 dari kampus rumah menuju ke Punden.
Selanjutnya saya langsung masuk ke dalam punden dan bertemu bapak Kano sebagai penjaga punden tersebut. Beliau sangat welcome, baik, dan humoris. Sedikit banyak saya memperoleh informasi mengenai masyarakat Ngurenrejo dari bapak Kano (Karwati), tentang tradisi ndodok lawang disana, sesuai dengan topic yang saya dapatkan dalam observasi. Yang pertama saya tanyakan mengenai Definisi ndodok lawang menurut penjelasan bapak Kano, dan beliau menjawab bahwa, “ Tradisi ndodok lawang yo bahasane tunangan nduk, urutane sedurungue akad nikah. Sedurunge di mulai ndodok nakokno wetone lanang wedoe. Miturut itungan  wong Jowo. Seng luweh penteng yo nakokno pihak soko wedok siap opo hurunge di dodok lawang. Nak wes di takokno wetone kari cocok orane wetone soko calone, nak ora cocok mendeng di batalno niate soale miturut sejarah kuno, bakal ono kecelakaan” Yang artinya Tradisi Ndodok lawang tahapan yang di dalamnya mempertanyakan tentang kejelasan status kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan). Selain itu juga mengetahui ketersediaan perempuan apakah menerima niat serius dari laki-laki tersebut atau menolak.
Hal inti dalam prosesi ini adalah menanyakan kelahiran si perempuan. Bukan hari dan tanggal lahir secara penanggalan nasional, tapi menurut penanggalan Jawa. Penanggalan ini biasa disebut dengan weton. Sesepuh akan menghitung weton kedua belah pihak. Apakah hasilnya nanti cocok atau bahkan menyebabkan keburukan jika niat ini dilanjutkan sampai akad nikah.
Pada masyarakat Nguren sendiri adalah desa yang agraris yang ada di Kecamatan Wedarijaksa. Komoditas unggulan adalah produk pertanian plowijo khususnya bawang merah, disamping cabe dan produk holtikultura lainya. Hal khusus yang menjadikan Ngurenrejo di kenal adalah adanya Situs Singo Padu yang ada dan terpelihara dengan baik sampai sekarang. Singopadu adalah pembesar Ngurenrejo di kala Pemerintahan Carang Soka. Dia adalah Patih carang Soka sekaligus jaksa Agung Carang Soka. Dan jasa besar terhadap perkembangan Desa Ngurenrejo, sekaligus penyebar Islam di Desa Ngurenrejo. Demikian hasil observasi wawancara dari Narasumber bapak Kano (karwati).
           
Rabu, 30 September 2016 (observasi hari ketiga)
Saya melanjutkan observasi pada hari ketiga, kali ini saya menuju ke rumah Bapak Rupadi RT/RW 02/02. Dan saya melangsungkan wawancara pukul 19.49. Setelah itu saya memulai bertanya mengenai hubungan Islam dengan tradisi ndodok lawang yang ada di Desa Ngurenrejo. Dan bapak Rupadi menjelaskan secara detail mnegenai hubunganya  Islam dengan tradisi ndodok lawang, yang mana bisa saya buat untuk hasil observasi saya dan sesuai dengan topic yang akan saya bahas.
            Jam sudah menunjukkan pukul malam dan saya sudah banyak mendapatkan hasil observasi pada wawancara ke narasumber ketiga saya rasa sudah cukup dari penggalian data yang akan saya buat untuk hasil observasinya. Setelah itu saya berpamitan untuk kembali pulang dari rumah bapak Rupadi, dan saya mengucapkan banyak terima kasih karena sudah banyak membantu dari tugas saya. Demikian hasil observasi wawancara dari Narasumber bapak Rupadi.


[1] Wawancara dengan Bapak Kano (karwati), sebagai penjaga makam leluhur (Mbah Singo Padu), Pada, Senin, 28 September 2016, Pukul 13.16 WIB
[2]  Wawancara dengan Ibu kasih, sebagai sekretaris BPD Desa Ngurenrejo, Pada, Sabtu, 26 September 2016,   Pukul 14.30 WIB
[3]  Wawancara dengan Bapak Rupadi, sebagai RT/RW 02/02 di Desa Ngurenrejo, Kecamatan Wedarijaksa, Kabupaten Pati, Pada, Rabu, 30 September 2016, Pukul 19.49 WIB
[4]  Nur Syam, Islam Pesisir, Yogyakarta, Lkis, 2005, hlm.,177.

1 komentar:

  1. Slot Machines for Sale in Las Vegas, NV - JTGHub
    Get cheap Slot 군산 출장마사지 Machines in Las Vegas, NV - JTG Hub 충청남도 출장마사지 in 사천 출장샵 Las Vegas, 부산광역 출장안마 NV 경산 출장안마 and see all about this casino game.

    BalasHapus