Makna dan Tradisi Ndodok Lawang
Desa
Ngurenrejo, Kecamatan Wedarijaksa,
Kabupaten Pati Jawa Tengah
JOURNAL
Disusun
Guna Memenuhi Tugas UAS
Mata
Kuliah : Sosiologi Agama
Dosen
Pengampu : Efa Ida Amalia M.Ag
![]() |
Disusun Oleh :
Nama : Eny Setyaningrum
NIM : 1530210006
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI KUDUS (STAIN) KUDUSUSHULUDDIN PROGAM ILMU AQIDAH
TAHUN AJARAN 2015/2016
Abstrak
Penelitian ini bertujuan mengetahui dan mengerti bahwa Pati
mempunyai keanekaragaman tradisi atau ritual yang hingga sekarang ada dan tetap
dipertahankan oleh masyarakat khususnya warga masyarakat Desa Ngurenrejo, Wedarijaksa,
Pati, yaitu hampir setiap desa masih melakukan
tradisi-tradisi nenek moyang, termasuk di desa Ngurenrejo kecamatan Wedarijksa,
Kabupaten Pati. Desa ini terletak di sebelah barat pusat kota Pati, memiliki
luas 174 Ha, dengan jumlah penduduk 3350 jiwa, terdiri dari 23 RT, dan 3 RW. Roda
pemerintahan Desa dijalankan oleh Kepala Desa yakni Bapak, Sudiono, dan di
wakili oleh Bapak Sutrisno, bersama BPD yang di ketuai oleh Bukhari dan saat
ini merupakan muslim secara keseluruhan. Hampir 90% masyarakatnya sekarang
mayoritas mengikuti paham Ahlussunah Waljama’ah.
Salah satu tradisi yang ada di desa Ngurenrejo yaitu
Ndodok lawang dalam bahasa Indonesia
sama artinya dengan ‘mengetuk pintu’. Tradisi ndodok lawang merupakan salah satu rangkaian upacara pernikahan
yang dilakukan pra (menjelang) pernikahan. Menempati urutan pertama pada
prosesi pernikahan, sebelum dilakukan lamaran dan akad nikah. Tradisi ini
dilakukan oleh pihak dari laki-laki yang akan mendatangi rumah perempuan.
Tradisi ini merupakan wujud keseriusan yang ditunjukkan dari pihak laki-laki
yang ingin memperistri pihak perempuan. Pihak perempuan juga akan merasa tenang
ketika pihak laki-laki sudah melakukan tradisi ini.
Tradisi Ndodok lawang merupakan
tahapan yang di dalamnya mempertanyakan tentang kejelasan status kedua belah
pihak (laki-laki dan perempuan). Selain itu juga mengetahui ketersediaan
perempuan apakah menerima niat serius dari laki-laki tersebut atau menolak.
Hal inti dalam prosesi ini adalah menanyakan
kelahiran si perempuan. Bukan hari dan tanggal lahir secara penanggalan
nasional, tapi menurut penanggalan Jawa. Penanggalan ini biasa disebut dengan
weton. Sesepuh akan menghitung weton kedua belah pihak. Apakah hasilnya nanti
cocok atau bahkan menyebabkan keburukan jika niat ini dilanjutkan sampai akad
nikah.
PENDAHULUAN
Jawa adalah daerah yang kaya
akan kebudayaan. Kebudayaan tersebut merupakan aset yang harus dijaga dan dilestarikan. Dikalangan masyarakat Jawa, tentu
telinga mereka sudah tidak asing lagi dengan upacara pernikahan. Meskipun sam-sama di Jawa, tentu di setiap daerah memiliki tata cara
pelaksanaan yang berbeda-beda.
Masyarakat sering mengadakan upacara pernikahan yang begitu banyak tahapan dan dianggap rumit. Mulai dari waktu, tempat, perlengkapan, semua memiliki syarat tersendiri. Tahapan prosesinya juga panjang. Ada berbagai macam tahapan yang ada dalam upacara pernikahan masyarakat Jawa. Tiap-tiap tahapan dari upacara yang dilaksanakan sebenarnya memiliki makna dan nilai budaya
yang khusus. Akan tetapi masyarakat sendiri kurang mengetahui maksud, tujuan
serta makna mengadakan upacara tersebut. Masyarakat juga
belum mengetahui perbedaan tradisi sebelum dan sesudah datangnya Islam. Kebanyakan dari mereka hanya mengikuti tradisi secara turun temurun, tanpa
mengkaji maksud dan tujuannya lebih lanjut.
Untuk itu, peneliti menyusun laporan penelitian
yang akan menjelaskan bagaimana tahapan awal dari prosesi pernikahan, yaitu
ndodok lawang sebagai tradisi turun menurun hingga tersentuh oleh Islam.
PEMBAHASAN
1. Prosesi Tradisi Ndodok Lawang dan Pemaknaannya
a.
Rombongan
pihak laki-laki memasuki rumah pihak perempuan dengan urutan:
1) Sesepuh yang
mewakili orang tua dari pihak laki-laki
2) Laki-laki yang hendak meminang, dan
3) Orang tua
dari pihak laki-laki.
4) Calon pengantin laki-laki ditempatkan di tengah, dimaknai sebagai perlindungan
dari keluarganya.
b. Sebelum
mendatangi rumah pihak perempuan, pihak laki-laki harus terlebih dahulu
mendatangi punden untuk memberikan sesaji dengan harapan dapat memperlancar
niatannya. Hal ini dimaknai sebagai syarat meminta izin kepada yang membabat desa (leluhur desa)
c. Pihak
perempuan menerima rombongan pihak laki-laki dengan urutan:
1) Sesepuh yang mewakili oarang tua dari pihak perempuan
2) Perempuan yang akan dipinang, dan
3) Orang tua
dari pihak perempuan. Ini dimaknai juga sebagai perlindungan kepada calon
pengantin perempuan.
d. Orang tua
pihak laki-laki melakukan tepangan (berkenalan) dengan orang tua pihak perempuan.
Hal ini dimaknai sebagai rasa hormat antar kedua belah pihak.
e. Orang tua pihak laki-laki melakukan tembung, mengutarakan maksud
kedatangannya. Menyampaikan maksud hati anaknya untuk ngembun-embun
enjing ajejawah sonten (mengharap embun turun di pagi hari, dan hujan turun
di sore hari), atau mengharap sesuatu yang menyenangkan, yaitu ingin
menikahi anak perempuannya. Ukara “ngembun-embun enjing ajejawah
sonten” juga merupakan wangsalan. Dalam Bahasa Jawa nama embun
pagi adalah awun-awun, hujan gerimis sore hari disebut rerabi; maksudnya
nyuwun rabi atau minta menikah.
f. Menanyakan
hari pasaran kelahiran perempuan. Kemudian mencocokkannya dengan hari pasaran
kelahiran laki-laki. Hal ini biasa disebut weton. Yang bertugas
menghitung weton kedua belah pihak adalah sesepuh yang dianggap memiliki
kecakapan menghitung hari kelahiran dan mampu mengartikan hasil dari
perhitungannya. Hal ini dimaknai untuk
meminimalisir datangnya bencana terhadap rumah tangga calon pengantin
dikemudian hari.
g. Setelah weton diketahui, selanjutnya adalah
penentuan tanggal, bulan, dan tahun pernikahan. Menurut adat yang dianut
masyarakat desa Ngurenrejo ini, menentukan tanggal pernikahan ini sedikit
rumit. Meskipun semua tanggal, bulan, dan tahun baik, tapi ada beberapa
persyaratan yang harus ditaati. Kedua calon penganten harus tahu hari pasaran mereka berdua, berikutnya adalah “hari naas” atau
hari kematian bapak atau ibu (jika ada) yang sudah meninggal. Biasanya orang tua sudah mencatat baik-baik kapan anaknya lahir, termasuk jam. Lebih mudah kalau punya kitab primbon untuk menghitung
sendiri kapan tanggal baik untuk menikah. Sedangkan untuk bulan dan tahun, bisa
sekehendak calon pengantin atau
keluarga karena ini tidak membutuhkan hitungan khusus.
h. Selama para orang tua berunding, laki-laki tidak boleh berada di dalam
rumah. Ini disebut dengan jonggolan.
Jonggolan berasal dari tembung
jonggol, yang berarti duduk diam. Di sini,
jonggolan berarti calon
pengantin laki-laki ketika sowan,
datang ke rumah orang tua calon pengantin perempuan, tidak melakukan apa-apa,
duduk di teras depan rumah, dan hanya minum air putih. Hal ini dimaknai sebagai keberanian, kemantapan, dan kesiapannya untuk menikahi calon pengantin perempuan.
i. Perempuan juga tidak boleh berada dalam ruang berunding para orang tua. Di diharuskan
memasak untuk disajikan kepada calon mertua. Tidak boleh ada yang membantu dan
tidak boleh dimasak sebelum rombongan pihak perempuan memasuki rumah. Jadi,
hasil masakannya benar-benar dari tangannya sendiri. Hal ini dimaknai bahwa perempuan itu wajib bisa
memasak dan pandai mengerjakan pekerjaan rumah.
j.
Setelah pihak laki-laki berpamitan, maka pihak perempuan mengadakan wilujengan pada tengah malam. Tujuannya
untuk melindungi calon pengantin perempuan agar tidak diganggu roh-roh jahat. Selain
itu dimaksudkan agar pihak laki-laki tidak membatalkan rencana pernikahan.[1]
2. Perlengkapan Tradisi Ndodok Lawang
Calon pengantin laki-laki sowan ke rumah calon mertua dengan membawa:
a.
Gedang setangkep, sebagai simbol
menjodohkan kedua calon pengantin.
b.
Weh-wehan, berupa segala sesuatu baik itu makanan ataupun
barang. Weh-wehan ini tergantung
kemampuan ekonomi dari pihak laki-laki. Tidak ada ketentuan khusus.
Calon pengantin laki-laki sowan ke rumah calon mertuanya, bersama bapak, ibu, saudara atau sesepuh yang
lain. Sebelum keluarga pengantin laki-laki pulang, keluarga calon pengantin perempuan menyerahkan:
a. Kancing gelung. Istilah kancing
gelung berarti :
1) tusuk konde untuk mengikat atau mengencangkan ikatan konde,
2) dhuwung (keris) pengantin. Dulu, para laki-laki berambut panjang. Jika pengertian ini dipakai, maka kancing gelung
ini melambangkan keterikatan calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan.
Pengertian lain kancing gelung
adalah dhuwung . Pada acara mantenan, pengantin laki-laki memakai keris untuk pasren
(supaya asri, maksudnya supaya cakap). Keris juga merupakan senjata untuk
membela keluarga. Selain itu, keris juga merupakan pusaka, dalam pengertian
pasangan baru itu akan memakai warisan ilmu adi luhung sebagai pusaka
dalam mengarungi samudera kehidupan.
b. Ageman pengantin kakung, ini
biasanya berupa kain yang akan dipakai saat ijab dan panggih. Kain yang diberikan
biasanya hanya beberapa lembar saja sebagai simbol.
3. Hubungan Agama dengan kebudayaan tradisi ndodok
lawang yang ada di Pati, Desa
Ngurenrejo
Agama dan kebudayaan adalah dua hal yang sangat dekat di masyarakat, khususnya
masyarakat Desa Ngurenrejo, Kecamatan weadarijaksa, Kabupaten Pati. Agama
muncul dari perasaan ketakjuban manusia terhadap realitas alam yang ada.
Kemudian mereka percaya bahwa ada suatu kekuatan tertentu, mereka mencoba untuk
mencari keselamatan dan ketidakseimbangan yang mereka rasakan, yang dapat
mendatangkan keselamatan bagi mereka.
Peranan agama di dalam masyarakat yang berasal usul dari The elemetary
Froms of the Religious Life- karya Durkheim dan Lectures on the Relegion of the
Semites karya Robertson Smith, pendekatan sosiologis menekankan cara
kepercayaan dan khususnya ritus memperkuat ikatan-ikatan sosial tradisional
diantara individu-individu. Pendekatan itu menekankan cara struktur sosial
sebuah kelompok yang di perkuat dan di lestarikan melalui simbolisasi
ritualistis atau mitis dari nilai-nilai sosial yang mendasari struktur sosial
itu.
Masyarakat desa
Ngurenrejo sampai sekarang masih melestarikan tradisi-tradisi lokal yang
menjadi ajaran leluhur pendahulu mereka yaitu Mbah Singo Padu. Sama
seperti daerah pesisir lainnya, desa Ngurenrejo ini memiliki tradisi-tradisi
lokal seperti sedekah bumi, tingkep, sepasar, selapan, dan lain sebagainya.
Namun ada satu tradisi yang hanya dimiliki desa-desa disebelah barat pusat kota
Pati (termasuk di Desa Ngurenrejo) memiliki tradisi Ndodok Lawang.[3]
KESIMPULAN
Setelah melakukan penelitian terhadap budaya lokal berupa tradisi ndodok lawang di desa Ngurenrejo, Kecamatan
wedarijaksa, Kabupaten Pati, dapat diuraikan kesimpulanya dibawah ini
Tradisi mengandung
pengertian tentang adanya kaitan masa lalu dengan masa sekarang. Tradisi
menunjuk kepada sesuatu yang diwariskan dari generasi ke generasi, dan wujudnya
masih ada sampai sekarang dan berfungsi di dalam kehidupan masyarakat luas.
Tradisi tidak hanya sekedar diwariskan tetapi juga dikonstruksikan atau
serangkaian tindakan yang ditujukan untuk menanamkan nilai-nilai dan
norma-norma melalui pengulangan, yang secara otomatis mengacu kepada
kesinambungan dengan masa lalu.[4]
Jadi, peneliti
melihat bahwa di dalam tradisi terdiri dua hal yang sangat penting, yaitu
pewarisan dan konstruksi. Pewarisan menunjuk kepada proses penyebaran tradisi
dari masa ke masa, sedangkan konstruksi menunjuk kepada proses pembentukan atau
penanaman tradisi kepada orang lain. Setelah dilakukan pengamatan, ndodok lawang di desa ini termasuk dalam
kategori tradisi. Tradisi di sini terlihat dari adat kebiasaan turun temurun
dari nenek moyang yang masih dijalankan dalam masyarakat. Masyarakat juga
menganggap cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar.
Tradisi ndodok lawang merupakan salah
satu tahapan dalam prosesi pernikahan yang menempati urutan pertama sebelum
melangsungkan akad nikah. Tradisi ini tergolong dalam tradisi lingkaran hidup.
Peneliti melihat
tradisi ndodok lawang di desa ini
unik, berbeda dengan ndodok lawang di
tempat lain. Ciri khas tradisi ndodok
lawang di desa ini adalah calon pengantin perempuan diharuskan memasak
untuk dipersembahkan kepada keluarga calon pengantin laki-laki. Peralatan
memasaknya harus menggunakan peralatan khas desa dan harus ada tungku kayu
bakar. Ia harus mengerjakannya sendiri dan tidak boleh diarahkan orang lain.
Hal ini menunjukkan calon pengantin perempuan sudah pantas menikah dan siap
berumah tangga.
Tradisi ndodok lawang termasuk dalam budaya
lokal. Hal ini terlihat dari kepercayaan masyarakat. Mereka meyakini kalau roh
nenek moyang setelah meninggal masih berhubungan dengan keluarga yang masih
hidup. Maka dari itu, masyarakat masih melakukan ritual-ritual yang menjadi
kepercayaan mereka. Seperti pada tradisi di atas, yang mengharuskan calon
pengantin laki-laki untuk menyediakan sesaji dan membawanya ke punden dengan harapan niatannya dapat
berjalan dengan lancar. Selain itu juga terlihat dari wilujengan yang dilakukan dari pihak perempuan, yang tujuannya
menolak roh-roh jahat yang bisa menggagalkan rencana pernikahan. Menurut mereka
cara-cara ini adalah yang terbaik dan benar. Hal di atas merupakan tradisi ndodok lawang sebelum tersentuh ajaran
Isalm.
Ketika Islam masuk ke
desa Ngurenrejo, masyarakat menerima dengan baik. Islam masuk dengan ajaran perilaku
yang mengedepankan kesamaan derajat manusia di sisi Tuhan tanpa memandang
status. Ajaran tersebut mudah diterima oleh masyarakat karena sikap mereka yang
terkenal dengan keterbukaannya dalam menjalin hubungan dan kerja sama.
Keterbukaan tersebut juga berlaku pada ciri khas budaya lokal. Sehingga yang terjadi
adalah kontak budaya yang menyebabkan adanya proses tarik menarik antara budaya
local dengan budaya yang dibawa oleh Islam. Di sini budaya lokal tidak
sepenuhnya menolak ajaran budaya Islam, sebaliknya Islam juga tidak memaksa
menghilangkan budaya lokal. Peneliti melihat bahwa ketika Islam masuk,
masyarakat desa ini menerima dan menjadikan budaya Islam sebagai kerangka
referensi tindakan.
Setelah Islam menjadi
kerangka referensi tindakan, tradisi ndodok
lawang mengalami pembaharuan. Jika pada masa lalu pihak laki-laki diharuskan membawa sesaji ke punden, maka sekarang beralih mengundang
modin atau ustadz untuk mengadakan
selamatan dan do’a bersama keluarga. Selain itu, yang dahulu pihak perempuan
mengadakan wilujengan di tengah malam
untuk mengusir roh-roh jahat. Sekarang mereka melakukan selamatan pada waktu
setelah shalat Maghrib, dengan mengundang tetangga sebagai ungkapan syukur dan
kabar gembira. Peneliti melihat terdapat kesamaan tujuan, yaitu terletak pada
tujuan memohon kelancaran. Tetapi terdapat perbedaan yang terletak pada yang
disembah, tidak lagi ditujukan kepada ruh-ruh, tetapi kepada Allah SWT.
Nilai-nilai dan
norma-norma pada tradisi ndodok lawang yang dinilai sudah sesuai dengan
nilai-nilai ajaran Islam, maka tetap dipertahankan. Dan nilai-nilai yang kurang
sesuai dengan ajaran Islam, maka dilakukan pembaharuan tanpa menghilangkan inti
dari tradisi tersebut.
BUKTI WAWANCARA






DAFTAR PUSTAKA
Nur Syam, Islam Pesisir, Yogyakarta,
Lkis, 2005.
Wawancara
dengan Bapak Kano (karwati), sebagai penjaga makam leluhur (Mbah Singo Padu), Pada, Senin, 28 September 2016,
Pukul 10.06 WIB.
Wawancara
dengan Ibu kasih, sebagai sekretaris BPD Desa Ngurenrejo, Pada, Sabtu, 26 September 2016, Pukul 15.30 WIB
Wawancara
dengan Bapak Rupadi, sebagai RT/RW 02/02 di Desa Ngurenrejo, Kecamatan Wedarijaksa, Kabupaten Pati, Pada, Rabu, 30 September 2016, Pukul 18.49 WIB
FIELD NOTE
Kajian Lapangan
Tradisi Ndodok Lawang, Ds. Ngurenrejo, Wedarijaksa, Kab. Pati
Sabtu, 26
September 2016 (observasi
hari pertama)
Sore hari itu
suasananya hampir turun hujan, Saya melakukan
observasi pada hari, pertama yaitu sabtu, 26 September 2016 setelah selesai
salat ashar, pukul 14.30, dengan membawa tas rensel, saya memasukkan barang ke
dalam tas saya berupa kamera, hp, alat tulis buku dan lainya. Kali ini saya
akan pergi ke rumah Ibu Kasih sebagai sekertaris BPD di Ds. Ngurenrejo. Setelah
sampai kerumahnya dan berbincang-bincang sedikit mengenai tujuan saya datang,
kemudian saya melanjutkan tujuan awal saya untuk mendapatkan hasil observasi
yang akan saya buat data dan saya memulai wawancara kepada narasumber saya
yaitu Ibu Kasih. Yang pertama saya menanyakan mengenai definisi dari tradisi
Ndodok lawang itu sendiri, selanjutnya saya bertanya mengenai beberapa hal
tentang tradisi ndodok lawang, dan setelah itu dari pemaparan yang sudah di
jelaskan oleh Ibu Kasih, saya lebih tertarik dengan penjelasan dari Ibu kasih
mengenai perlengkapan dari tradisi itu sendiri. Demikian hasil observasi
wawancara dari Narasumber Ibu Kasih.
Senin, 28 September 2016
Siang hari yang cukup panas, sekitar jam 11.45 dengan membawa sepeda montor bersama
saudara perempuan saya, dan menggendong tas ransel. Tempat yang saya tuju juga tidak jauh dari rumahku sekitar 120 m, kurang lebihnya. Saya berangkat dari rumah untuk pergi ke “Punden” di
Desa Ngurenrejo, Wedarijaksa, Kab.Pati untuk melakukan
kajian lapangan tradisi kebudayaan “Ndodok Lawang” Pati Wedarijaksa, Jawa Tengah untuk memenuhi
tugas UAS dari Dosen saya yang bernama Ibu Efa Ida Amaliya. Perjalanan yang memakan waktu beberapa menit
saja, akhirnya kami sampai di lokasi pukul 12.28. Selanjutnya saya
langsung menuju tempat parkir sepeda montor depan punden
tersebut. Sebelum saya masuk ke dalam punden tersebut,
saya melaksankan salat dhuhur terlebih dahulu, dan tempatnya di mushala depan
“Pundeng Singa Padu”. Sebenarnya jadwal keberangkatan saya pukul 09.00, tetapi saya butuh persiapan dan pembekalan untuk
mematangkan kepergian ke Punden, dan sambil
menunggu saudaraku sampai ke rumah. Setelah persiapan selesai, kamipun berangkat
pukul 11.45 dari kampus rumah menuju ke Punden.
Selanjutnya saya
langsung masuk ke dalam punden dan bertemu bapak Kano sebagai penjaga punden
tersebut. Beliau sangat welcome, baik, dan
humoris. Sedikit banyak saya memperoleh informasi mengenai masyarakat Ngurenrejo dari bapak Kano (Karwati), tentang tradisi ndodok lawang disana, sesuai dengan topic yang saya dapatkan
dalam observasi. Yang pertama saya
tanyakan mengenai Definisi ndodok lawang menurut penjelasan bapak Kano, dan
beliau menjawab bahwa, “ Tradisi ndodok lawang yo bahasane tunangan nduk,
urutane sedurungue akad nikah. Sedurunge di mulai ndodok nakokno wetone lanang
wedoe. Miturut itungan wong Jowo. Seng
luweh penteng yo nakokno pihak soko wedok siap opo hurunge di dodok lawang. Nak
wes di takokno wetone kari cocok orane wetone soko calone, nak ora cocok
mendeng di batalno niate soale miturut sejarah kuno, bakal ono kecelakaan”
Yang artinya Tradisi Ndodok lawang tahapan yang
di dalamnya mempertanyakan tentang kejelasan status kedua belah pihak
(laki-laki dan perempuan). Selain itu juga mengetahui ketersediaan perempuan
apakah menerima niat serius dari laki-laki tersebut atau menolak.
Hal inti dalam prosesi ini adalah menanyakan
kelahiran si perempuan. Bukan hari dan tanggal lahir secara penanggalan
nasional, tapi menurut penanggalan Jawa. Penanggalan ini biasa disebut dengan
weton. Sesepuh akan menghitung weton kedua belah pihak. Apakah hasilnya nanti
cocok atau bahkan menyebabkan keburukan jika niat ini dilanjutkan sampai akad
nikah.
Pada masyarakat Nguren sendiri adalah desa yang
agraris yang ada di Kecamatan Wedarijaksa. Komoditas unggulan
adalah produk pertanian plowijo khususnya bawang merah, disamping cabe dan
produk holtikultura lainya. Hal khusus yang menjadikan Ngurenrejo di kenal
adalah adanya Situs Singo Padu yang ada dan terpelihara dengan baik
sampai sekarang. Singopadu adalah pembesar Ngurenrejo di kala
Pemerintahan Carang Soka. Dia adalah Patih carang Soka sekaligus jaksa Agung
Carang Soka. Dan jasa besar terhadap perkembangan Desa Ngurenrejo, sekaligus
penyebar Islam di Desa Ngurenrejo. Demikian hasil observasi wawancara dari
Narasumber bapak Kano (karwati).
Rabu, 30
September 2016 (observasi
hari ketiga)
Saya melanjutkan observasi pada hari ketiga, kali ini saya menuju ke
rumah Bapak Rupadi RT/RW 02/02. Dan saya melangsungkan wawancara pukul 19.49.
Setelah itu saya memulai bertanya mengenai hubungan Islam dengan tradisi ndodok
lawang yang ada di Desa Ngurenrejo. Dan bapak Rupadi menjelaskan secara detail
mnegenai hubunganya Islam dengan tradisi
ndodok lawang, yang mana bisa saya buat untuk hasil observasi saya dan sesuai
dengan topic yang akan saya bahas.
Jam sudah menunjukkan
pukul malam dan saya sudah banyak mendapatkan hasil observasi pada wawancara ke
narasumber ketiga saya rasa sudah cukup dari penggalian data yang akan saya
buat untuk hasil observasinya. Setelah itu saya berpamitan untuk kembali pulang
dari rumah bapak Rupadi, dan saya mengucapkan banyak terima kasih karena sudah
banyak membantu dari tugas saya. Demikian hasil observasi wawancara dari
Narasumber bapak Rupadi.
[1] Wawancara dengan Bapak Kano (karwati), sebagai penjaga makam leluhur (Mbah Singo
Padu), Pada,
Senin, 28 September 2016, Pukul 13.16 WIB
[2] Wawancara dengan Ibu kasih, sebagai
sekretaris BPD Desa Ngurenrejo, Pada, Sabtu, 26 September 2016, Pukul 14.30 WIB
[3] Wawancara dengan Bapak Rupadi, sebagai RT/RW 02/02 di Desa
Ngurenrejo, Kecamatan Wedarijaksa, Kabupaten Pati,
Pada, Rabu, 30 September 2016, Pukul 19.49
WIB
Slot Machines for Sale in Las Vegas, NV - JTGHub
BalasHapusGet cheap Slot 군산 출장마사지 Machines in Las Vegas, NV - JTG Hub 충청남도 출장마사지 in 사천 출장샵 Las Vegas, 부산광역 출장안마 NV 경산 출장안마 and see all about this casino game.